Jalan Cisaga-Rancah, Dulu & Sekarang
Bila jalan tidak layak atau rusak, maka semua kena dampaknya. Bisa dibayangkan, jarak tempuh di pelosok desa di daerah Tambaksari misalnya, untuk mengangkut hasil bumi kelapa yang harga per butirnya hanya mencapai 500 rupiah, rentang jarak yang jauh dan kondisi jalan yang rusak parah, harga ongkos angkut cukup mahal, ini berdampak buruk pada ekonomi masyarakat petani kita yang ada di pelosok pedesaan.
Sejak masa Otda, perbaikan jalan Cisaga-Rancah hampir tidak pernah dilakukan. Sekian lama kon-disi jalan dibiarkan rusak parah. Se-mentara itu para pekerja PU (andir jalan) yang ditempatkan di tingkat kecamatan merasa lesu karena mi-nimnya anggaran operasional. Itu yang selalu menjadi alasan. Parah-nya lagi kesadaran masyarakat pun makin berkurang dalam hal budaya gotong royong. Rasanya sulit mem-bangun sinergi untuk menjaga ku-alitas jalan agar tetap baik. Maka ja-ngan heran semakin hari kondisi ja-lan makin rusak.
Namun begitu masyarakat nam-paknya lebih bisa berpikir rasional. Mereka pun dengan segala keterba-tasannya berpikir dan merasakan langsung perubahan zaman. Kebu-tuhan ekonomi pun terus meningkat. Tuntutan demi tuntutan kehidupan bermunculan.Waktu, tenaga dan uang jadi perhitungan. Tak aneh dalam transportasi kemudian jalur Cisaga-Rancah mulai surut. Masya-rakat utara seperti Rancah lebih memilih memakai jalur jalan Rancah-Rajadesa-Ciamis daripada Rancah -Cisaga-Ciamis. Di satu sisi mungkin ini juga akibat kebijakan positif pemda untuk membuka jalur-jalur baru, namun di sisi lain sebenarnya ada kesan pengalihan persoalan yakni tidak mampunya pemerintah menuntaskan masalah pokok yakni jalan itu sendiri. Saya tak tahu ba-gaimana pikiran para pengambil kebijakan atau orang-orang ‘cer-das’ di
Namun di sisi lain kegiatan bis-nis dan usaha di sepanjang jalur Cisaga-Rancah pun berkembang. Berapa puluh penggergajian, to-kotoko material bangunan yang mengharuskan masuknya kenda-raan-kendaraan berat untuk meng-angkut barang sampai tujuan. Mungkin secara manusiawi tidak bisa dan tidak mungkin menghen-tikan kendaraan-kendaraan besar itu masuk. Karena mereka juga perlu hidup dan perlu makan. Na-mun selama ini yang menjadi per-soalan adalah belum adanya satu kebijakan pemerintah yang mem-beri larangan dan sanksi hukum terhadap pengguna jalan yang melebihi kapasitas tonase.
Baru-baru ini adanya proyek jalan Cisaga-Rancah, satu sisi sangat menguntungkan, karena banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Namun disisi lain, kualitas dan mutu jalan belum bisa teruji kekuatannya untuk 2-3 tahun lamanya. Atau jangan-jangan baru beberapa bu-lan ke depan pun kondisi jalan su-dah ambrol dan rusak. Lagu lama pun mengalun, lagi-lagi pemerin-tah kelimpungan harus mengalo-kasikan anggaran tiap tahun untuk jalan. Sementara pembangu-nan lainnya harus tetap berjalan dan tersentuh, karena tidak mung-kin anggaran hanya terfokus pada satu sektor pembangunan.
Kualitas jalan yang masih tetap seperti dulu masih menjadi sebuah kekhawatiran sebagian masyarakat, beberapa drainase yang juga memiliki peran penting menjaga kondisi jalan tetap terurus, supaya air tidak masuk tertumpah ke badan jalan, hanya sebagian saja yang diperbaiki. Perbaikan sarana jalan Cisaga-Rancah tanpa dibarengi perbaikan drainase baik dan benar.
Perbaikan yang tak pernah baik. Mengapa demikian? Sebab, semua komponen belum bisa ber-gerak pada kesadaran yang sama. Jalan Cisaga-Rancah sekarang sudah diperbaiki dengan nilai mi-liaran rupiah, namun belum bisa menggerakkan semua stakeholders untuk merawat dan men-jaganya bersama-sama.
Persoalan dan fenomena itu seolah terus berlarut tanpa ada solusi yang terbaik. Padahal per-soalan-persoalan lain dalam ma-syarakat dan pemerintahan di desa saja tak sedikit dan kom-plek. PBB yang tak beres, pa-mong yang tak cakap, kesejah-teraan yang rendah, korupsi, hingga kevakuman berbagai ke-giatan, memuncakkan rasa ke-cewa dan keputusasaan masya-rakat.
Dan jalan akhirnya jadi pe-micu bahkan menjadi sebuah komoditas kepentingan di daerah perbatasan. Masyarakat Cisaga dan sekitarnya yang tiap hari berinteraksi dengan masyarakat Kota Banjar cemburu ketika melihat wujud pembangunan di Kota Banjar terus maju menggeliat. Pemerintah pun nyaris kewala-han menghadapi gejolak dan kemelut, dari urusan jalan ke urusan politik. Jalan bagus jadi dambaan dan kecemburuan. Dan puncak dari kekecewaan itu mereka ingin bergabung ke Kota Banjar. Siapa yang salah?
Ternyata kasus jalan masih bisa terus membentangkan ber-bagai persoalan dan gejolak sosial. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar