sebuah media masa lokal yang terbit di kota ciamis sejak tahun 2001.

Kamis, 17 Januari 2008

Senin, 31 Desember 2007

Terkait Kasus Pemalsuan Ijasah Kades Rejasari

Kepsek SD III Rejasari

Bisa Diancam Hukuman

Langensari, KORAN IMSA,-

Kepala SDN III Rejasari, Adang Suryana tidak bisa cuci tangan terkait pemalsuan ijazah Kepala Desa Rejasari, RS yang telah divonis 6 bulan kurungan oleh Pengadilan Negeri Ciamis. Pasalnya ia turut serta dalam memuluskan akis kejahatan pemalsuan ijazah LW. Karena itu, sejumlah tokoh masyarakat Rejasari meminta aparat penegak hukum agar menyeret Adang ke meja hijau. Berdasarkan KUHP Pasal 55 ayat 1, Adang didakwa turut serta dalam aksi kejahatan. “Kami minta keadilan agar saudara Adang juga merasakan pengapnya bui,” ujar tokoh Rejasari, Enceng Setiawan,S.Pd, yang juga Ketua Komite Sekolah SDN III Rejasari.

Menurut Enceng, sebagai kepala sekolah, Adang selain melanggar hukum juga cacat moral karena memberikan contoh yang tidak etis. Apalagi terkait masalah ijazah, sekolah jelas bertanggungjawab secara moral. “Ini tidak bisa dibiarkan sebab akan menjadi bumerang dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada sekolah,” tambah Enceng.

Lebih jauh Enceng mengatakan, bahwa dirinya sebagai ketua komite merasa dipermalukan dengan kasusus ini. Dirinya menilai bahwa selama ini kepala sekolah terlalu banyak persoalan yang jelimet yang mengakibatkan citra sekolah juga ikut tercoreng oleh prilakunya. Bahkan kata dia, bukan saja masalah kasus yang menyangkut pemalsuan ijazah, tapi masih ada kasus-kasus lainnya yang harus ditindaklanjuti, seperti masalah DAK untuk pembangunan sekolah untuk fisik, ada yang belum bisa direalisasikan seperti pembangunan sarana WC sekolah. Itu juga, kata dia harus ditindaklanjuti oleh pihak dinas terkait dan bawasda.

“Karena kalau tidak diberi pelajaran maka dihawatirkan akan menjadi preseden buruk bagi dunia di masa yang akan datang,” ujar Enceng.

Sementara itu KH. Muin Abdurohim dari Dewan Pendidikan Kota Banjar menyatakan, kepala sekolah yang cacat moral apalagi tersangkut hukum sebaiknya tidak diaktifkan lagi. Karena selain mencemari dunia pendidikan juga menganggu kenyamanan warga sekolah dan masyarakat sekitarnya. “Bawasda dan Dinas Pendidikan Kota Banjar harus turun tangan dalam masalah ini agar jelas dimana posisi Kepala SDN III Rejasari Adang Suryana. Kalau tidak, posisi Adang Suryana tetap akan menjadi polemik,” ujarnya. (Wan/Die/Koran IMSA).***

Proyek DAK Ciamis Kisruh

CIAMIS, Koran IMSA

Proyek DAK di Kabupaten Ciamis kisruh menyusul terjadinya doubel pemesanan order, barang yang tidak sesuai spesifikasi, barang hasil pelanggaran hak cipta dan mark up harga komputer. Beberapa kepala sekolah mengaku pihaknya kesulitan mengindentifikasi kualitas dan spesifikasi barang. “Kami memang awam sehingga tatkala menerima barang sulit mengontrol mana yang sesuai dengan juklak dan juknis dan mana barang hasil pelanggaran hak cipta,” ujar Kepala MI Hujungtiwu, Ny.Nia.

Di Rancah seorang kepala sekolah terpaksa membatalkan pesanan karena pemborong buku ingkar janji. Namun si pemborong kini balik mengancam kepala sekolah lewat jalur hukum. Kasus saling ancam ini sampai saat ini masih berlangsung dan belum ada keputusan damai dari kedua belah pihak. Beberapa pejabat di Dinas Pendidikan Ciamis saat dikonfirmasi masalah ini memilih diam. “Saya tak mau berkomentar, itu mah urusan internal kepala sekolah,” ujar pejabat eselon III Dinas Pendidikan yang enggan namanya ditulis.

Dari hasil investigasi Koran IMSA di lapangan, barang yang diduga ada mark up harga adalah komputer. Di pasaran umum komputer merk Lenovo harganya Rp 6 juta, namun oleh pihak pemborong dilabeli harga Rp 12 juta. Dengan demikian si pemborong untung dua kali lipat. Selain itu, ada alat peraga yang patut diduga hasil pelanggaran hak cipta. Namun karena yang bermain proyek DAK adalah anggota dewan Ciamis, temuan ini jelas sangat sulit ditindaklanjuti. (Wan/Die/Koran IMSA)***

Minggu, 30 Desember 2007

Jalan Cisaga-Rancah, Dulu & Sekarang

Jalan masih menjadi sebuah persoalan panjang dan komplek. Bisa dimengerti tanpa jalan, laju perekonomian masyarakat sedikit terhambat. Tanpa jalan, tranfortasi pengangkut hasil bumi dari desa ke kota bisa mandeg.

Bila jalan tidak layak atau rusak, maka semua kena dampaknya. Bisa dibayangkan, jarak tempuh di pelosok desa di daerah Tambaksari misalnya, untuk mengangkut hasil bumi kelapa yang harga per butirnya hanya mencapai 500 rupiah, rentang jarak yang jauh dan kondisi jalan yang rusak parah, harga ongkos angkut cukup mahal, ini berdampak buruk pada ekonomi masyarakat petani kita yang ada di pelosok pedesaan.

Sejak masa Otda, perbaikan jalan Cisaga-Rancah hampir tidak pernah dilakukan. Sekian lama kon-disi jalan dibiarkan rusak parah. Se-mentara itu para pekerja PU (andir jalan) yang ditempatkan di tingkat kecamatan merasa lesu karena mi-nimnya anggaran operasional. Itu yang selalu menjadi alasan. Parah-nya lagi kesadaran masyarakat pun makin berkurang dalam hal budaya gotong royong. Rasanya sulit mem-bangun sinergi untuk menjaga ku-alitas jalan agar tetap baik. Maka ja-ngan heran semakin hari kondisi ja-lan makin rusak. Ada kesan meng-ulang-ulang perbaikan yang tak per-nah baik dari dulu sampai sekarang. Karena memang kualitas dan status jalan masih tetap pada kelasnya, belum bisa dinaikan ke kelas yang lebih baik satu dan dua.

Namun begitu masyarakat nam-paknya lebih bisa berpikir rasional. Mereka pun dengan segala keterba-tasannya berpikir dan merasakan langsung perubahan zaman. Kebu-tuhan ekonomi pun terus meningkat. Tuntutan demi tuntutan kehidupan bermunculan.Waktu, tenaga dan uang jadi perhitungan. Tak aneh dalam transportasi kemudian jalur Cisaga-Rancah mulai surut. Masya-rakat utara seperti Rancah lebih memilih memakai jalur jalan Rancah-Rajadesa-Ciamis daripada Rancah -Cisaga-Ciamis. Di satu sisi mungkin ini juga akibat kebijakan positif pemda untuk membuka jalur-jalur baru, namun di sisi lain sebenarnya ada kesan pengalihan persoalan yakni tidak mampunya pemerintah menuntaskan masalah pokok yakni jalan itu sendiri. Saya tak tahu ba-gaimana pikiran para pengambil kebijakan atau orang-orang ‘cer-das’ di kota, tapi di desa orang desa justru banyak berdiskusi tentang tidak klopnya pembangunan transportasi dengan pembangunan sarana jalan. Saya menangkap orang-orang desa ketika itu sangat pintar dibanding orang kota.

Namun di sisi lain kegiatan bis-nis dan usaha di sepanjang jalur Cisaga-Rancah pun berkembang. Berapa puluh penggergajian, to-kotoko material bangunan yang mengharuskan masuknya kenda-raan-kendaraan berat untuk meng-angkut barang sampai tujuan. Mungkin secara manusiawi tidak bisa dan tidak mungkin menghen-tikan kendaraan-kendaraan besar itu masuk. Karena mereka juga perlu hidup dan perlu makan. Na-mun selama ini yang menjadi per-soalan adalah belum adanya satu kebijakan pemerintah yang mem-beri larangan dan sanksi hukum terhadap pengguna jalan yang melebihi kapasitas tonase.

Baru-baru ini adanya proyek jalan Cisaga-Rancah, satu sisi sangat menguntungkan, karena banyak membuka lapangan kerja bagi masyarakat setempat. Namun disisi lain, kualitas dan mutu jalan belum bisa teruji kekuatannya untuk 2-3 tahun lamanya. Atau jangan-jangan baru beberapa bu-lan ke depan pun kondisi jalan su-dah ambrol dan rusak. Lagu lama pun mengalun, lagi-lagi pemerin-tah kelimpungan harus mengalo-kasikan anggaran tiap tahun untuk jalan. Sementara pembangu-nan lainnya harus tetap berjalan dan tersentuh, karena tidak mung-kin anggaran hanya terfokus pada satu sektor pembangunan.

Kualitas jalan yang masih tetap seperti dulu masih menjadi sebuah kekhawatiran sebagian masyarakat, beberapa drainase yang juga memiliki peran penting menjaga kondisi jalan tetap terurus, supaya air tidak masuk tertumpah ke badan jalan, hanya sebagian saja yang diperbaiki. Perbaikan sarana jalan Cisaga-Rancah tanpa dibarengi perbaikan drainase baik dan benar. Para pe-gawai PU di tingkat kecamatan masih apriori, belum tergerak un-tuk mengurusi jalan dengan se-rius.

Perbaikan yang tak pernah baik. Mengapa demikian? Sebab, semua komponen belum bisa ber-gerak pada kesadaran yang sama. Jalan Cisaga-Rancah sekarang sudah diperbaiki dengan nilai mi-liaran rupiah, namun belum bisa menggerakkan semua stakeholders untuk merawat dan men-jaganya bersama-sama.

Persoalan dan fenomena itu seolah terus berlarut tanpa ada solusi yang terbaik. Padahal per-soalan-persoalan lain dalam ma-syarakat dan pemerintahan di desa saja tak sedikit dan kom-plek. PBB yang tak beres, pa-mong yang tak cakap, kesejah-teraan yang rendah, korupsi, hingga kevakuman berbagai ke-giatan, memuncakkan rasa ke-cewa dan keputusasaan masya-rakat.

Dan jalan akhirnya jadi pe-micu bahkan menjadi sebuah komoditas kepentingan di daerah perbatasan. Masyarakat Cisaga dan sekitarnya yang tiap hari berinteraksi dengan masyarakat Kota Banjar cemburu ketika melihat wujud pembangunan di Kota Banjar terus maju menggeliat. Pemerintah pun nyaris kewala-han menghadapi gejolak dan kemelut, dari urusan jalan ke urusan politik. Jalan bagus jadi dambaan dan kecemburuan. Dan puncak dari kekecewaan itu mereka ingin bergabung ke Kota Banjar. Siapa yang salah?

Ternyata kasus jalan masih bisa terus membentangkan ber-bagai persoalan dan gejolak sosial. ***